Langsung ke konten utama

TEMPURUNG KELAPA KESEIMBANGAN KEBUDAYAAN

Apa jadinya Indonesia tanpa budaya. Tanpa budaya, Indonesia bukanlah apa-apa. Terdapat banyak suku menjadikan Indonesia terkenal sebagai negeri seribu karya budaya termasuk kesenian. Seperti dalam lirik lagu yang disajikan Koes Plus berikut
“Bukan Lautan hanya Kolam Susu,
Kail dan Jalan cukup menghidupimu,
Tiada Badai Tiada Topan Kau Temui,
Ikan dan Udang Menghampiri dirimu,
Orang bilang Tanah Kita Tanah Surga,
Tongkat Kayu dan Batu jadi tanaman.”
Lagu merupakan sebuah karya seni yang indah di mata masyarakat. Lalu bagaimana jika di dalam sebuah permainan, lagu menjadi penanda dan juga sebagai sebuah tali kekeluargaan. Kita tahu bahwa permainan adalah kegiatan menenangkan diri dari penatnya aktivitas keseharian.
Minggu lalu tepatnya setelah tugas diberikan oleh dosen saya, saya duduk santai bersama kedua orang tua di depan televisi yang menyala menyiarkan berita pemerintahan di negeri yang cukup merumitkan pikiran. Lantas tak tertinggal pemikiran saya untuk bertanya pada papa permainan tradisional apa yang dahulu beliau mainkan.
Jawaban beliau menarik sekali, permainan enggrang tempurung kelapa atau yang sering disebut bathokan di daerah kecamatan Parakan kabupaten Temanggung provinsi  Jawa Tengah memiliki lagu yang cukup unik. Yakni ;
“Sluku-sluku bathok,
Bathoke ela-elo,
Si Rama menyang Solo,
Oleh-olehe payung motho,
Mak jenthit lolo lo bah,
Wong mati ora obah,
Yen obah medeni bocah,
Yen urip goleko duwit.”
Permainan bathokan ini adalah permainan yang dilakukan dengan cara berdiri seimbang di atas bathok atau tempurung kelapa yang sudah diamplas hingga halus, kemudian bathok tersebut diberi lubang pada tengahnya dan diberi tali untuk memudahkan si pemain berjalan. Karena lagu dari permainan tersebut memiliki arti dan makna seperti berikut :
“Sluku-sluku Tempurung Kelapa,
Tempurung Kelapa Geleng-geleng,
Ayah pergi ke Solo,
Oleh-olehnya Payung Montha,
Mendadak Bangkit dan Bergerak-gerak,
Orang Mati tidak Bergerak,
Kalau bergerak Menakut-nakuti Anak Kecil,
Kalau Hidup Carilah Uang.”
Jika ditarik makna dari lagu dalam permainan tersebut menjaga keseimbangan merupakan hal yang diharuskan dalam kehidupan. Bila jatuh sangatlah dibutuhkan keberanian untuk bangkit, walaupun sangat menakutkan.
Selain permainan dan lagu mulai pudar, daerah untuk bermain pun menjadi tak terlihat lagi. Infrastruktur negara yang semakin menjadi tidak keruan untuk gigih didirikan membuat generasi penerus tradisi nusantara juga tidak bisa mengapresiasikan diri serta bersosialisasi. Bermain juga membantu dalam sarana komunikasi agar sistem motorik anak dapat berkembang.
Bukan menjatuhkan pihak atau publik manapun, hanya saja mengingat budaya perlu dilestarikan dan kebudayaan secara makro atau dalam pengertian umum berarti segala hasil dan upaya budi daya manusia terhadap lingkungan (Warsito dan Wahyuni, 2007: 3).
Kebudayaan itu juga dinamis yang dimana tidak pernah ada kebudayaan yang secara absolut-stabil-statis, yakni tidak berubah. Ia selalu dan senantiasa berubah sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan waktu, zaman dan tempat (Raymundus, 2012: 101).
Berupaya melestarikan kebudayaan adalah tugas besar kami. Bagaimana agar masa depan kami dan penerus tradisi nusantara baik lisan maupun tulis menjadi penerus yang tidak mengecewakan perjuangan tradisi nenek moyang kami.
Jangan sampai terjadi banyak penghambat terutama juga adanya keterbelahan antara modern – tradisional, pop – serius, kraton – rakyat. Suatu yang vulgerpun masih tetap diperlukan karena pendukung kebudayaan terbanyak adalah masyarakat. Pemisahan yang terlampau tajam tidak terlalu menguntungkan perkembangan modernisasi kesenian dan budaya bangsa (Darmanto, 1983: 1).

Nama : Adelya Mega Pritaningrum
NIM    : 1614015050
Prodi : Sastra Indonesia 2016 (B)
Sumber :
Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline/pengertian-permainan
Warsito, Tulus. Wahyuni Kartikasari. 2007. Diplomasi Kebudayaan. Yogyakarta: Ombak.
Blolong, Raymundus Rede. 2012. Dasar-Dasar Antropologi Budaya. Nusa Tenggara: Nusa Indah.

Jatman, Darmanto. 1983. Sastra, Psikologi dan Masyarakat. Bandung: Alumni.

Komentar

Posting Komentar